Polemik Koalisi Besar Pascapemilu 2025 Memanas di Indonesia

Koalisi Besar

Latar Belakang Terbentuknya Koalisi Besar

diwisata.com – Koalisi besar bukan muncul tiba-tiba. Sejak masa kampanye, banyak partai menempuh strategi moderat dan menghindari polarisasi ekstrem seperti pada Pemilu 2019.

Setelah hasil resmi diumumkan, presiden terpilih hanya unggul tipis dari pesaing utama. Sementara peta DPR sangat terfragmentasi: tidak ada satu pun partai yang meraih suara dominan.

Dalam kondisi ini, presiden terpilih mengajak semua partai besar bergabung membentuk pemerintahan persatuan nasional demi menjaga stabilitas politik, menarik investasi asing, dan meredam potensi konflik horizontal pascapemilu.


Peta Kekuatan Koalisi Besar

Koalisi besar saat ini terdiri dari hampir semua partai parlemen: Partai A, Partai B, Partai C, Partai D, dan Partai E, dengan total menguasai 86% kursi DPR RI.

Satu-satunya partai yang menolak bergabung adalah Partai F yang hanya punya 14 kursi, sehingga tidak cukup kuat membentuk oposisi formal.

Komposisi kabinet pun mencerminkan kekuatan besar ini. Hampir semua kementerian strategis diisi kader partai koalisi, mulai dari bidang ekonomi, hukum, pertahanan, hingga pendidikan.


Argumen Pendukung Koalisi Besar

Pendukung koalisi besar menilai langkah ini tepat demi stabilitas dan percepatan pembangunan.

Pertama, pemerintahan tidak perlu buang energi menghadapi oposisi keras di parlemen, sehingga bisa fokus mengeksekusi program kerja.

Kedua, kebijakan besar seperti transisi energi, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dan reformasi pendidikan memerlukan dukungan politik luas agar tidak berubah-ubah saat berganti pemerintahan.

Ketiga, koalisi besar memberi kepastian politik yang menenangkan pasar dan investor, yang sebelumnya menahan diri menunggu hasil pemilu.


Argumen Penentang Koalisi Besar

Namun, banyak pakar politik dan aktivis sipil mengkritik keras Koalisi Besar 2025.

Pertama, ketiadaan oposisi membuat fungsi pengawasan DPR melemah. Tanpa penyeimbang, pemerintah bisa membuat kebijakan sewenang-wenang tanpa kontrol memadai.

Kedua, kompromi politik antar partai dalam koalisi besar rawan menciptakan bagi-bagi jabatan (power sharing) yang mengabaikan meritokrasi.

Ketiga, publik kehilangan pilihan politik alternatif di parlemen. Ini dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pemilu berikutnya rawan jadi formalitas tanpa kompetisi ide yang sehat.


Dampak ke Dinamika DPR dan Politik Nasional

Sejak koalisi besar terbentuk, sidang-sidang DPR berjalan nyaris tanpa perdebatan berarti. RUU yang diajukan pemerintah hampir selalu disahkan dengan cepat dan suara bulat.

Meski efisien, kondisi ini membuat banyak pengamat khawatir DPR hanya jadi stempel pemerintah. Beberapa fraksi kecil mengeluh sulit menyuarakan kritik karena tekanan politik dari mayoritas besar.

Lembaga-lembaga pengawas independen seperti Ombudsman dan Komnas HAM pun mulai kesulitan mendapat dukungan politik saat mengkritik kebijakan pemerintah.


Respons Publik dan Media

Media mainstream terbelah. Sebagian memuji stabilitas baru yang muncul, tapi banyak pula yang memperingatkan bahaya hilangnya oposisi. Editorial beberapa surat kabar besar bahkan menyebut koalisi besar sebagai “ancaman senyap demokrasi”.

Di media sosial, tagar #ButuhOposisi sempat trending selama berminggu-minggu. Banyak anak muda menyuarakan kekhawatiran bahwa demokrasi akan kehilangan makna jika tidak ada kekuatan penyeimbang.

Lembaga survei mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun pasca koalisi besar terbentuk, karena dianggap hanya mengejar kekuasaan dan melupakan peran pengawasan.


Tantangan Ke Depan: Menjaga Demokrasi Tetap Sehat

Pakar politik menyarankan beberapa langkah untuk mencegah koalisi berubah menjadi oligarki:

  • Membentuk komisi pengawasan independen DPR untuk memperkuat fungsi check and balance.

  • Memperluas peran civil society (LSM, pers, akademisi) dalam mengawasi kebijakan pemerintah.

  • Mereformasi mekanisme hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat agar tetap bisa dijalankan meski mayoritas besar dikuasai satu koalisi.

  • Mendorong partai-partai kecil agar membentuk kaukus kritis nonformal untuk menjaga suara minoritas tetap terdengar.

Tanpa langkah ini, koalisi besar dikhawatirkan membuat sistem presidensial Indonesia berubah jadi sistem kartel yang hanya menguntungkan elite.


Penutup: Stabilitas Boleh, Demokrasi Harus Dijaga

Koalisi Besar 2025 mencerminkan keinginan elite politik menjaga stabilitas pascapemilu yang kompetitif. Namun stabilitas tidak boleh mengorbankan prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Indonesia membutuhkan keseimbangan: pemerintahan kuat sekaligus pengawasan yang kritis. Tanpa itu, koalisi  bisa berubah dari solusi sementara menjadi ancaman permanen bagi demokrasi.

Tugas menjaga demokrasi kini bukan hanya di pundak partai, tapi juga media, akademisi, dan publik agar ruang kritik tidak hilang.


📚 Referensi