Thrifting Jadi Gaya Hidup Utama Anak Muda Indonesia di 2025

Thrifting

Thrifting Meledak di Kalangan Generasi Muda

diwisata.com – Tahun 2025 menandai puncak popularitas thrifting (belanja pakaian bekas) di kalangan anak muda Indonesia. Dulu dianggap kuno dan identik dengan pakaian lusuh, kini thrifting justru menjadi simbol gaya hidup kreatif, hemat, sekaligus ramah lingkungan.

Media sosial dipenuhi konten haul pakaian bekas dari pasar lokal, online marketplace, hingga toko preloved internasional. Influencer dan selebritas muda mempopulerkan gaya “mix and match” pakaian bekas dengan item fashion modern, menciptakan tren baru yang unik dan personal.

Thrifting menjadi jalan keluar bagi anak muda untuk tetap tampil stylish tanpa harus menguras dompet. Harga pakaian bekas yang jauh lebih murah memungkinkan mereka bereksperimen dengan berbagai gaya tanpa rasa bersalah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada fast fashion yang merusak lingkungan.


Faktor Pendorong Ledakan Tren Thrifting

Ada beberapa faktor yang mendorong thrifting menjadi gaya hidup utama di 2025. Pertama, tekanan ekonomi membuat banyak anak muda mencari cara hemat untuk tetap bergaya. Harga barang baru, terutama dari brand besar, terus naik, sementara pendapatan tidak selalu ikut naik. Thrifting memberikan alternatif fashion berkualitas dengan harga terjangkau.

Kedua, meningkatnya kesadaran lingkungan. Generasi Z sangat peduli pada isu keberlanjutan dan perubahan iklim. Mereka tahu industri fashion menyumbang limbah tekstil raksasa setiap tahun, sehingga membeli pakaian bekas dianggap kontribusi nyata mengurangi jejak karbon.

Ketiga, keinginan tampil unik. Pakaian bekas biasanya model lama (vintage) atau langka, sehingga tidak pasaran. Anak muda yang ingin menonjolkan identitas personal merasa thrifting memberi mereka kesempatan tampil beda dari arus utama. Ini membuat thrifting bukan sekadar cara berhemat, tapi juga bentuk ekspresi diri.


Ekosistem Bisnis Thrifting Tumbuh Pesat

Meledaknya permintaan pakaian bekas membuat bisnis thrifting tumbuh pesat di seluruh Indonesia. Pasar tradisional seperti Pasar Senen (Jakarta), Pasar Gedebage (Bandung), dan Pasar Turi (Surabaya) yang dulu sepi kini kembali ramai oleh pengunjung muda.

Selain itu, banyak toko preloved online bermunculan di Instagram, TikTok, dan marketplace. Mereka menjual kurasi pakaian bekas branded, streetwear langka, hingga koleksi vintage luar negeri. Penjualan dilakukan lewat live shopping yang sangat diminati anak muda karena interaktif dan seru.

Beberapa pengusaha bahkan membuka thrift store modern dengan konsep butik estetik, ruang pas nyaman, dan sistem pembayaran digital. Thrifting kini bukan lagi dianggap “murahan”, tapi bagian dari industri fashion arus utama yang menghasilkan omset miliaran rupiah per bulan.


Dampak Positif Thrifting terhadap Lingkungan dan Sosial

Thrifting juga membawa dampak positif besar terhadap lingkungan. Dengan membeli pakaian bekas, siklus hidup pakaian jadi lebih panjang sehingga mengurangi jumlah sampah tekstil yang menumpuk di TPA. Industri fashion diketahui menyumbang limbah sekitar 92 juta ton per tahun secara global — thrifting membantu menekan angka ini.

Selain itu, thrifting mengurangi permintaan produksi baru yang boros air dan energi. Produksi satu kaus katun misalnya, membutuhkan 2.700 liter air. Dengan memakai barang bekas, anak muda ikut menekan konsumsi sumber daya alam.

Dari sisi sosial, thrifting memberi peluang ekonomi bagi banyak orang. Pedagang kecil, pengepul barang bekas, penjahit, hingga konten kreator mendapat penghasilan dari ekosistem ini. Banyak komunitas thrifting juga menggalang dana untuk amal dari penjualan pakaian preloved, sehingga membawa dampak sosial positif.


Tantangan: Stigma, Kualitas, dan Regulasi

Meski populer, thrifting masih menghadapi sejumlah tantangan. Stigma negatif masih ada, terutama dari generasi tua yang menganggap pakaian bekas identik dengan kemiskinan atau tidak higienis. Padahal, kebanyakan pelaku thrifting saat ini justru menekankan proses pencucian dan sterilisasi pakaian agar layak jual.

Tantangan lain adalah soal kualitas barang. Tidak semua pakaian bekas layak pakai, sehingga butuh keahlian memilih barang bagus. Ini membuat banyak pemula kecewa saat pertama kali mencoba thrifting.

Selain itu, regulasi impor barang bekas masih abu-abu. Pemerintah sebenarnya melarang impor pakaian bekas karena alasan kesehatan dan perlindungan industri lokal, namun pasokan barang preloved luar negeri masih membanjiri pasar. Pemerintah perlu membuat regulasi khusus yang memisahkan barang bekas ilegal dan bisnis preloved resmi agar ekosistem thrifting tetap sehat.


Masa Depan Thrifting di Indonesia

Melihat tren saat ini, banyak pengamat yakin thrifting akan tetap menjadi bagian penting industri fashion Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Generasi muda telah menjadikannya gaya hidup, bukan sekadar tren musiman.

Ke depan, bisnis thrifting diperkirakan akan semakin profesional. Akan muncul sertifikasi kebersihan barang, platform preloved berskala nasional, hingga kerja sama brand besar untuk menjual stok lama mereka lewat kanal preloved resmi. Ini akan membuat thrifting semakin diterima luas dan menghilangkan stigma negatif yang tersisa.

Selain itu, konsep circular fashion yang mengedepankan daur ulang dan penggunaan ulang barang akan menjadi arus utama. Thrifting akan menjadi pintu masuk ke arah industri fashion yang lebih hijau, inklusif, dan bertanggung jawab sosial.


Penutup: Hemat, Stylish, dan Ramah Lingkungan

Gaya Baru Generasi Z

Thrifting Anak Muda 2025 membuktikan bahwa anak muda bisa tampil modis tanpa boros dan tanpa merusak lingkungan. Mereka mengubah citra pakaian bekas dari simbol kemiskinan menjadi simbol kreativitas dan kesadaran sosial.

Masa Depan Fashion Indonesia

Jika tren ini terus berkembang, Indonesia bisa menjadi pusat industri thrifting terbesar di Asia Tenggara. Thrifting bukan hanya tren, tapi gerakan menuju industri fashion yang lebih adil, lestari, dan penuh nilai budaya.


📚 Referensi